(source : google.com) |
Kriteria
Ketuntanasan Minimal atau yang lebih akrab dengan sebutan KKM ini merupakan
syarat minimal yang harus dicapai peserta didik jika ingin dinyatakan tuntas dalam
suatu mata pelajaran. Jika peserta didik ini tidak mampu mencapai KKM maka dia
harus menempuh proses pembelajaran perbaikan atau lebih dikenal dengan istilah remedial.
Proses
penetapan KKM ini haruslah berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah
yaitu mengacu pada 3 hal yakni, tingkat kesulitan mata pelajaran
(kompleksitas), daya dukung sekolah terhadap proses pembelajaran mata pelajaran
tersebut dan input peserta didik (inteks peserta didik). Tiga hal tersebut digunakan
dalam analisis tiap indikator pencapaian pembelajaran setiap materi. Jika
tingkat kesulitan indikator tersebut rendah maka poin kompleksitasnya tinggi
dan jika tingkat kesulitannya tinggi maka poin kompleksitasnya rendah. Berbeda
dengan kompleksitas, poin daya dukung semakin tinggi jika faktor pendukung
tercapainya indikator pembelajaran semakin lengkap. Begitu juga inteks peserta didk
yang dapat diambil dari nilai ujian nasional atau tes seleksi masuk (untuk
penentuan KKM kelas awal) atau tingkat pencapaian KKM di kelas sebelumnya
(untuk penentuan KKM kelas lanjut), semakin tinggi inteks peserta didik maka
poinnya semakin tinggi. Poin dari ketiga faktor penentu KKM tiap indikator
tersebut di hitung secara matematik dan akan menghasilkan KKM dalam rentang nol
(0) sampai dengan seratus (100) jika penilaian memakai skala seratus. Kemudian,
KKM tiap indikator ini dirata-ratakan berdasarkan kompetensi dasar dan akan
menghasilkan KKM per-kompetensi dasar. Selanjutnya, KKM tiap kompetensi dasar
ini dirata-ratakan dan akan menghasilkan KKM per-standar kompetensi. Terakhir,
KKM tiap standar kompetensi dirata-ratakan sehingga menghasilkan KKM mata
pelajaran yang nantinya akan dicantumkan di laporan hasil belajar/ rapor.
Berdasarkan
langkah-langkah tersebut tentunya proses penentuan KKM bukanlah hal yang harus disepelekan
apalagi tidak dilakukan sama sekali sehingga dalam penentuan KKM pihak satuan
pendidikan lebih memilih cara “kira-kira” yang terkesan seenaknya. Apalagi sekarang
ini marak isu adanya “standar ideal” penetapan KKM yang musti dianut oleh
setiap satuan pendidikan. Isu ini pun masuk ke sekolah yang sekarang ini
menjadi tempat saya mengajar. Standar ideal terebut memaksa setiap guru mata
pelajaran khususnya mata pelajaran yang akan diujian-nasionalkan untuk tidak
menetapkan KKM kurang dari 75. Padahal fakta dilapangan, jika merunut pada
langkah-langkah penetapan KKM yang seharusnya, tentunya akan kurang dari poin
tersebut. Adanya standar ideal penetapan KKM ini dilatarbelakangi oleh statement
bahwa peserta didik yang memiliki nilai dengan KKM rendah akan kalah bersaing
dengan peserta didik yang memiliki nilai dengan KKM tinggi saat seleksi masuk
sekolah di jenjang selanjutnya. Entah ini atas dasar apa yang membuat statement
ini menjadi nightmare-nya guru-guru yang menginginkan peserta didiknya
masuk ke jenjang pendidikan lanjutan di sekolah terbaik dan favorit. Efek isu
ini sangat meresahkan guru-guru karena kami tentunya sangat kebingungan
bagaimana bisa semua peserta didik yang memiliki kecerdasan majemuk dan daya
tangkap pelajaran yang berbeda-beda dipaksakan untuk mencapai suatu target yang
tidak memperhitungkan hal yang justru sangat penting dalam proses pembelajaran
(3 faktor penentuan KKM). Akhirnya, beberapa guru ber-statment bahwa
keputusan pemerintah yang menetap adanya KKM adalah salah dan perlu dikaji ulang
bahkan diminta ditiadakan karena dianggap suatu tindak pemaksaan kepada anak,
KKM membuat anak pintar semakin pintar dan membuat anak yang dinilai kurang
mampu akan semakin tidak mampu. Selain itu, guru terkesan memisahkan urusan
nilai dengan perkembangan pembelajaran peserta didik. Mereka tetap mengajar
semaksimal mungkin agar peserta didiknya lebih meningkat prestasinya, dan untuk
urusan nilai itu bisa diselesaikan dengan cara “mark up” atau lebih
dikenal dengan istilah “katrol nilai” dengan tanpa melihat seperti apa peserta
didiknya yang terpenting adalah nilai di rapor atau laporan hasil belajar anak
bisa sama atau melebihi KKM yang telah distandar-idealkan.
Penetapan
prestasi anak yang seperti ini tentunya akan berdampak negatif pada proses
pembelajaran peserta didik di tingkat lebih lanjut. Akan ada banyak peserta
didik yang masuk ke sekolah favorit karena nilai rapornya yang mencukupi
padahal secara kemampuan mereka belum memenuhi sehingga pada proses
pembelajarannya peserta didik tersebut akan dipaksakan dengan proses
pembelajaran yang sesuai kebijakan sekolah tersebut. Hal ini akan sangat
memungkinkan membuat peserta didik depresi dan menyerah dalam belajar sehingga
terjerumus ke hal-hal yang kita takutkan sebagai guru dan orang tua.
Oleh karena kita
sebagai guru, mari mulai menjalankan tugas sesuai pedoman yang sudah
disosialisasikan pemerintah. Adanya penetapan KKM pada tiap mata pelajaran itu
bukan “produk gagal” atau kesalahan fatal pemerintah dalam pendidikan yang
mungkin selama ini terbersit dalam pemahaman kita. Penetapan KKM itu justru penting bagi proses
pendidikan karena pada prinsipnya proses pendidikan itu harus terencana dan
terarah, dengan adanya KKM akan membatu guru untuk mengambil langkah yang
seperti apa yang harus dia ambil dalam menerapkan konsep pembelajaran. Dengan
kita sebagai guru menetapkan KKM sesuai dengan langkah-langkah yang
disosialisasikan pemerintah, bisa dijamin peningkatan prestasi peserta didik
akan lebih signifikan dan praktik “katrol nilai” tidak akan nampak lagi di
dunia pendidikan Indonesia.
Selain itu,
para pejabat di pemerintahan daerah atau pihak tertentu yang terlibat dalam
proses pendidikan di sekolah sebaiknya harus mempertimbangkan banyak faktor
dalam menentukan kebijakan. Seperti isu “standar ideal” penetapan KKM yang
sangat memberatkan itu. Alangkah lebih bijaknya jika pihak-pihak tersebut turut
terjun ke lapangan membantu para guru menuntutaskan masalah-masalah dalam
proses pendidikan di sekolah terutama untuk hal penetapan KKM. Suatu daerah
tidak mesti menjadi daerah terbaik hanya karena memiliki peserta didik yang
memiliki nilai sangat tinggi tapi dalam praktik dilapangannya nol besar (soft
skill yang rendah), daerah terbaik adalah daerah yang memiliki peserta
didik yang dengan kecerdasannya yang beragam membawa efek positif dalam
pembangunan daerah.
Para guru sudah
sewajarnya menyuarakan aspirasinya jika menemukan hal yang janggal dalam proses
pendidikan, bukannya bungkam dan asal “manut” saja. Harus selalu kita ingat,
tugas menjadi guru adalah suatu amanah yang harus dijalankan sebaik mungkin dan
semaksimal mungkin. Pikirkanlah peserta didik kita yang kita ajar itu akan
menjadi khalifah di negara kita yang akan mengelola segala bentuk sumber daya
alam dan menuntaskan permasalahan negara. Kita sebagai guru terutama yang telah
mengabdi sangat lama sangat pantas sekali untuk berintropeksi pada pola
pengajaran kita selama disekolah, para pemimpin yang senang berulah sekarang
ini tidak bisa dipungkiri bahwa mereka dulunya pernah kita ajar, paham serta
gaya kita ada yang mereka serap.
Pencapaian
peserta didik yang bisa melewati KKM memang bukan jaminan penentu peserta didik
bisa sukses dimasa depan, tapi penetapan KKM disini adalah pembiasaan yang bisa
kita terapkan kepada peserta didik bahwa untuk mencapai sesuatu itu diperlukan
target minimal. Dengan begitu, peserta didiknya akan terbiasa membentuk visi
dan misi dalam menjalankan kehidupannya. So, KKM itu BUKAN MAINAN!!!
dipublish di : gurumenulisindonesia.wordpress.com
dipublish di : gurumenulisindonesia.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar