Assalamualaikum. Selamat Datang. Blog Ini Dibuat Untuk Berbagi Pengalaman di Bidang Matematika, Biologi dan Kepenulisan

Sabtu, 17 September 2016

KKM Itu Bukan Mainan!

(source : google.com)

Kriteria Ketuntanasan Minimal atau yang lebih akrab dengan sebutan KKM ini merupakan syarat minimal yang harus dicapai peserta didik jika ingin dinyatakan tuntas dalam suatu mata pelajaran. Jika peserta didik ini tidak mampu mencapai KKM maka dia harus menempuh proses pembelajaran perbaikan atau lebih dikenal dengan istilah remedial.

Proses penetapan KKM ini haruslah berdasarkan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu mengacu pada 3 hal yakni, tingkat kesulitan mata pelajaran (kompleksitas), daya dukung sekolah terhadap proses pembelajaran mata pelajaran tersebut dan input peserta didik (inteks peserta didik). Tiga hal tersebut digunakan dalam analisis tiap indikator pencapaian pembelajaran setiap materi. Jika tingkat kesulitan indikator tersebut rendah maka poin kompleksitasnya tinggi dan jika tingkat kesulitannya tinggi maka poin kompleksitasnya rendah. Berbeda dengan kompleksitas, poin daya dukung semakin tinggi jika faktor pendukung tercapainya indikator pembelajaran semakin lengkap. Begitu juga inteks peserta didk yang dapat diambil dari nilai ujian nasional atau tes seleksi masuk (untuk penentuan KKM kelas awal) atau tingkat pencapaian KKM di kelas sebelumnya (untuk penentuan KKM kelas lanjut), semakin tinggi inteks peserta didik maka poinnya semakin tinggi. Poin dari ketiga faktor penentu KKM tiap indikator tersebut di hitung secara matematik dan akan menghasilkan KKM dalam rentang nol (0) sampai dengan seratus (100) jika penilaian memakai skala seratus. Kemudian, KKM tiap indikator ini dirata-ratakan berdasarkan kompetensi dasar dan akan menghasilkan KKM per-kompetensi dasar. Selanjutnya, KKM tiap kompetensi dasar ini dirata-ratakan dan akan menghasilkan KKM per-standar kompetensi. Terakhir, KKM tiap standar kompetensi dirata-ratakan sehingga menghasilkan KKM mata pelajaran yang nantinya akan dicantumkan di laporan hasil belajar/ rapor.

Berdasarkan langkah-langkah tersebut tentunya proses penentuan KKM bukanlah hal yang harus disepelekan apalagi tidak dilakukan sama sekali sehingga dalam penentuan KKM pihak satuan pendidikan lebih memilih cara “kira-kira” yang terkesan seenaknya. Apalagi sekarang ini marak isu adanya “standar ideal” penetapan KKM yang musti dianut oleh setiap satuan pendidikan. Isu ini pun masuk ke sekolah yang sekarang ini menjadi tempat saya mengajar. Standar ideal terebut memaksa setiap guru mata pelajaran khususnya mata pelajaran yang akan diujian-nasionalkan untuk tidak menetapkan KKM kurang dari 75. Padahal fakta dilapangan, jika merunut pada langkah-langkah penetapan KKM yang seharusnya, tentunya akan kurang dari poin tersebut. Adanya standar ideal penetapan KKM ini dilatarbelakangi oleh statement bahwa peserta didik yang memiliki nilai dengan KKM rendah akan kalah bersaing dengan peserta didik yang memiliki nilai dengan KKM tinggi saat seleksi masuk sekolah di jenjang selanjutnya. Entah ini atas dasar apa yang membuat statement ini menjadi nightmare-nya guru-guru yang menginginkan peserta didiknya masuk ke jenjang pendidikan lanjutan di sekolah terbaik dan favorit. Efek isu ini sangat meresahkan guru-guru karena kami tentunya sangat kebingungan bagaimana bisa semua peserta didik yang memiliki kecerdasan majemuk dan daya tangkap pelajaran yang berbeda-beda dipaksakan untuk mencapai suatu target yang tidak memperhitungkan hal yang justru sangat penting dalam proses pembelajaran (3 faktor penentuan KKM). Akhirnya, beberapa guru ber-statment bahwa keputusan pemerintah yang menetap adanya KKM adalah salah dan perlu dikaji ulang bahkan diminta ditiadakan karena dianggap suatu tindak pemaksaan kepada anak, KKM membuat anak pintar semakin pintar dan membuat anak yang dinilai kurang mampu akan semakin tidak mampu. Selain itu, guru terkesan memisahkan urusan nilai dengan perkembangan pembelajaran peserta didik. Mereka tetap mengajar semaksimal mungkin agar peserta didiknya lebih meningkat prestasinya, dan untuk urusan nilai itu bisa diselesaikan dengan cara “mark up” atau lebih dikenal dengan istilah “katrol nilai” dengan tanpa melihat seperti apa peserta didiknya yang terpenting adalah nilai di rapor atau laporan hasil belajar anak bisa sama atau melebihi KKM yang telah distandar-idealkan.

Penetapan prestasi anak yang seperti ini tentunya akan berdampak negatif pada proses pembelajaran peserta didik di tingkat lebih lanjut. Akan ada banyak peserta didik yang masuk ke sekolah favorit karena nilai rapornya yang mencukupi padahal secara kemampuan mereka belum memenuhi sehingga pada proses pembelajarannya peserta didik tersebut akan dipaksakan dengan proses pembelajaran yang sesuai kebijakan sekolah tersebut. Hal ini akan sangat memungkinkan membuat peserta didik depresi dan menyerah dalam belajar sehingga terjerumus ke hal-hal yang kita takutkan sebagai guru dan orang tua.

Oleh karena kita sebagai guru, mari mulai menjalankan tugas sesuai pedoman yang sudah disosialisasikan pemerintah. Adanya penetapan KKM pada tiap mata pelajaran itu bukan “produk gagal” atau kesalahan fatal pemerintah dalam pendidikan yang mungkin selama ini terbersit dalam pemahaman kita.  Penetapan KKM itu justru penting bagi proses pendidikan karena pada prinsipnya proses pendidikan itu harus terencana dan terarah, dengan adanya KKM akan membatu guru untuk mengambil langkah yang seperti apa yang harus dia ambil dalam menerapkan konsep pembelajaran. Dengan kita sebagai guru menetapkan KKM sesuai dengan langkah-langkah yang disosialisasikan pemerintah, bisa dijamin peningkatan prestasi peserta didik akan lebih signifikan dan praktik “katrol nilai” tidak akan nampak lagi di dunia pendidikan Indonesia.

Selain itu, para pejabat di pemerintahan daerah atau pihak tertentu yang terlibat dalam proses pendidikan di sekolah sebaiknya harus mempertimbangkan banyak faktor dalam menentukan kebijakan. Seperti isu “standar ideal” penetapan KKM yang sangat memberatkan itu. Alangkah lebih bijaknya jika pihak-pihak tersebut turut terjun ke lapangan membantu para guru menuntutaskan masalah-masalah dalam proses pendidikan di sekolah terutama untuk hal penetapan KKM. Suatu daerah tidak mesti menjadi daerah terbaik hanya karena memiliki peserta didik yang memiliki nilai sangat tinggi tapi dalam praktik dilapangannya nol besar (soft skill yang rendah), daerah terbaik adalah daerah yang memiliki peserta didik yang dengan kecerdasannya yang beragam membawa efek positif dalam pembangunan daerah.

Para guru sudah sewajarnya menyuarakan aspirasinya jika menemukan hal yang janggal dalam proses pendidikan, bukannya bungkam dan asal “manut” saja. Harus selalu kita ingat, tugas menjadi guru adalah suatu amanah yang harus dijalankan sebaik mungkin dan semaksimal mungkin. Pikirkanlah peserta didik kita yang kita ajar itu akan menjadi khalifah di negara kita yang akan mengelola segala bentuk sumber daya alam dan menuntaskan permasalahan negara. Kita sebagai guru terutama yang telah mengabdi sangat lama sangat pantas sekali untuk berintropeksi pada pola pengajaran kita selama disekolah, para pemimpin yang senang berulah sekarang ini tidak bisa dipungkiri bahwa mereka dulunya pernah kita ajar, paham serta gaya kita ada yang mereka serap.

Pencapaian peserta didik yang bisa melewati KKM memang bukan jaminan penentu peserta didik bisa sukses dimasa depan, tapi penetapan KKM disini adalah pembiasaan yang bisa kita terapkan kepada peserta didik bahwa untuk mencapai sesuatu itu diperlukan target minimal. Dengan begitu, peserta didiknya akan terbiasa membentuk visi dan misi dalam menjalankan kehidupannya. So, KKM itu BUKAN MAINAN!!!

dipublish di : gurumenulisindonesia.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar